Sebuah cerita menarik hadir dari sebuah desa di kecamatan Jatiwangi,
Majalengka, Jawa Barat. Pasalnya, Sang Kepala Desa tidak pernah
mengambil gajinya. “Semua diserahkan untuk membangun desa,” ujar beliau.
Saya pribadi sempat mengobrol-ngobrol dengan beliau beberapa waktu
lalu. Karena dia memergoki saya mencatat kisah yang disampaikannya, dia
lalu meminta saya untuk tidak mempublikasikannya.
Saya waktu itu tidak menyetujui maupun menolak. Hanya berhenti mencatat di smartphone
dan mengingat apa yang beliau sampaikan. Namun, karena saya
berkesimpulan bahwa cerita ini menarik dan inspiratif, akhirnya saya
mempublikasikannya tanpa menyebut nama beliau dan desanya.
Kembali ke Sang Kepala Desa. Ketika menjabat Kepala Desa, pengusaha
genting ini pun lalu meminta izin kepada istrinya untuk tidak membiayai
keluarganya dari gajinya sebagai kepala desa. “Istri saya juga punya
penghasilan, dan dialah yang membiayai keluarga, termasuk sekolah anak
saya,” lanjutnya.
Sejak terpilih dan mulai menjabat sebagai kepala desa, beliau memang
berniat untuk membangun balai desa sebagai “Rumah Orangtua”. “Di rumah
orang tua kita bisa meminta uang sesuka kita pada orang tua,” paparnya.
Untuk itu, di balai desa pun masyarakatnya bisa meminta bantuan
kepadanya.
Malah, pernah suatu ketika, semua orang yang meminta bantuan ke balai
desa merasa tidak mampu membayar listrik. Akhirnya dirinyalah yang
membayarkan listrik warganya tersebut. Pada saat itu, uang istrinya pun
habis sehingga tidak cukup untuk membayar listrik dan membelikan susu
untuk anaknya. Alhasil, listrik di rumahnya pun dipadamkan oleh PLN
karena dirinya pun belum membayar listrik.
Meskipun begitu, alumni sebuah SMA di Bandung ini tidak merasa
menyesal dengan kejadian seperti itu. “Itu semua ujian dari Yang Maha
Kuasa,” paparnya. Bahkan, Sang Kepala Desa merasa bahwa Tuhan
membalasnya dengan lebih indah.
Balasannya hadir ketika tanah di sebelah rumahnya akan dijual oleh
tetangganya. Kemudian, seorang kawan kebetulan melihatnya dan tertarik
dengan tanah tersebut. Sang Kepala Desa pun menjadi juru hubung
jual-beli antara penjual dan kawannya.
Harga pun disepakati. Kawannya lalu memberikan cek kepada Sang Kepala
Desa untuk selanjutnya dibayarkan kepada sang penjual. Namun, ketika
beliau bermaksud meminjam KTP sang kawan untuk mengurus surat-surat
tanah, sang kawan pun bertutur, “Buat apa KTP saya? Tanah ini punya
kamu. Saya yang membelikannya untuk kamu. Jadi, pakai KTP kamu untuk
membuat surat-surat tanahnya.”
Padahal, menurut Sang Kepala Desa, bila dirinya berniat korupsi dari
dana desa, nilainya sama dengan harga tanah yang diberikan oleh kawannya
tersebut.
Pria kelahiran Jatiwangi ini pun kemudian berkisah tentang Ali bin
Abi Thalib yang hendak buang air besar di tengah perjalanannya. Ali pun
menitipkan untanya ke seorang anak muda kemudian bergegas mencari tempat
untuk mengeluarkan hajat.
Usai menuntaskan buang hajatnya, Ali kembali ke untanya. Namun, sang unta dan anak tadi telah hilang.
Ali akhirnya melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Ketika
tiba di sebuah pasar, Ali melihat untanya berada di tempat penjualan
hewan. Kemudian dia bertanya kepada si penjual tentang sumber untanya
serta harganya. “Saya dapat dari seorang anak muda seharga 10 dinar,”
jawab sang pedagang.
Ali pun tersenyum. Melihat gelagat sepupu nabi tersebut, sang
pedagang pun bertanya ihwal penyebab senyumnya itu. “Andai anak muda itu
bersabar, saya sudah berniat akan memberinya uang 10 dinar dan dia akan
mendapatkan uangnya dengan halal. Ternyata, dia lebih memilih
mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal dengan mencuri untaku dan
menjualnya,” tutur Sang Kepala Desa menirukan jawaban Ali.
Dari kisah tersebut, Sang Kepala Desa berkesimpulan bahwa kita
seringkali tidak pernah bersabar untuk mendapatkan harta yang banyak.
Padahal, lanjut Sang Kepala Desa, Tuhan sudah mengatur rezeki kita.
“Kita hanya perlu bekerja keras. Urusan rezeki, biarlah Tuhan yang
mengaturnya,” tandasnya.
Di level yang lebih dasar, Sang Kepala Desa menyebutkan Cinta sebagai
pangkal dari segala tindakannya. Dengan mencintai pekerjaan dan
masyarakatnya, beliau rela berbuat apa saja agar masyarakatnya
sejahtera. “Contohnya ketika kita mencintai seorang wanita. Tentunya
kita akan melakukan apa pun agar wanita yang kita cintai itu bahagia,”
analoginya.
Prinsip ini juga ternyata dipegang oleh para staf Sang Kepala Desa.
Mereka tanpa pamrih bekerja untuk desa dan mengorbankan segala yang
dimilikinya untuk masyarakat.
Sang Kepala Desa mencontohkan dengan salah satu stafnya yang menyemai
5 ribu bibit pohon yang didanai oleh kantong pribadinya. Tidak hanya
disemai, sang staf juga menjaganya agar siap tanam. “Semuanya itu dia
(sang staf) lakukan sendiri,” tandas Sang Kepala Desa.
Dalam hal ini, Sang Kepala Desa dan stafnya percaya bahwa mereka
tidak akan miskin karena bersedekah. Buktinya, mereka masih bisa hidup
meskipun seluruh gajinya mereka gunakan untuk membiayai program desa.
“Ajaib, nggak akan ada orang yang melarat karena sedekah. Itu mah hukum Allah,” simpul Sang Kepala Desa menutup perbincangan.